57GSGOUiym0RjqT60gh80ahb2hanHpOxHlTDFWHw
Bookmark

Cerpen: Muda

Hari ini, aku ada pertemuan kedua dengan orang yang menyewa jasaku. Orang tersebut bernama Sabri. Dia memintaku untuk mengguna-guna seseorang, orang yang telah mencelakai anaknya, Agus, dan benar, pekerjaanku adalah sebagai paranormal atau lebih dikenal dengan dukun. Anak Sabri, Agus, meninggal dengan kondisi mengenaskan, tubuhnya terpotong-potong, dimutilasi menjadi beberapa bagian.

Cerita bermula ketika Agus, yang waktu itu duduk di kelas XI IPS 1 menyukai Risa, siswi XI IPS 2. Sebagai usaha karena Agus menyukai Risa dan untuk memperoleh hati Risa, Agus mulai melancarkan usahanya untuk mendekati Risa. Agar hati Risa jatuh dihatinya. Usaha Agus bermula dari selalu datang lebih awal ke sekolah agar terlihat lebih rajin dan bisa bertemu Risa yang juga suka datang lebih awal ke sekolah. Mengajak ngobrol Risa, bercanda dan bercerita keseharian.

Kemudian, usaha Agus pun meningkat levelnya. Dia memberanikan diri untuk menulis puisi dan memberikan potongan surat cinta yang selalu diselipkan di laci meja Risa, memberikan hadiah, mengajak Risa jalan hingga menawarkan untuk menjemput dan mengantar Risa pulang. Semua itu Agus lakukan untuk dekat dengan Risa, agar Risa jatuh hati padanya. Hingga suatu hari, Agus memutuskan untuk mengungkapkan perasaan di hatinya ke Risa.

Pagi itu, Agus menjemput Risa. Berpakaian rapi, menata rambut sedemikian rupa dan juga memakai parfum, itu dilakukan untuk meluluhkan Risa dan meningkatkan rasa percaya dirinya Agus.

Tiba di depan rumah Risa, Agus melihat Risa sudah siap untuk berangkat dan menunggu Agus. Mereka pun berangkat berdua setelah pamit ke orang tuanya Risa. Di perjalanan Agus mencoba mengakrabkan diri, bercerita.

Baca juga: Cerpen: Setelah Hidup

"Sa, cita-citamu apa ya?" ucap Agus membuka percakapan. "Setelah lulus nanti, kamu rencananya mau ngapain? Kuliah atau langsung berkarir dan kerja?"

Risa tidak langsung menjawab, dari tampangnya, sepertinya dia sedang memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Tidak menduga Agus akan bertanya tentang rencananya akan masa depan.

"Mmm, aku maunya melanjutkan ke kuliah sih, pengen jadi psikolog," jawab Risa malu-malu dan ragu. "Tapi melihat kondisi keluargaku saat ini, sepertinya ga mungkin deh aku lanjut ke kuliah. Kondisi keuangan keluargaku tidak mendukung untuk itu. Jadi aku rencananya akan mencoba mencari pekerjaan dulu 1 hingga 2 tahun, baru kemudian akan kucoba melanjutkan pendidikanku. Kurang lebih begitu," lanjut Risa, bercerita dengan wajah tertunduk menatap jalanan.

"Widih, mau jadi psikolog ya... mau dong aku konsultasi tentang percintaan denganmu," balas Agus mencoba menyemangati dan menggoda Risa.

"Idih... kamu, Gus, ada-ada aja. Aku tuh maunya jadi psikolog anak karena aku seneng dengan anak-anak. Aku ingin membantu keluarga-keluarga agar punya hubungan baik dengan anak mereka, mempererat hubungan keluarga tersebut sehingga menjadi keluarga yang bahagia," timpal Risa, langkah kakinya lebih cepat dari sebelumnya.

Baca juga: Review Cerpen Sumur

"Wih, keren, Sa. Mmm, Sa... aku..." Agus tergagap, mencoba menyampaikan perasaannya ke Risa.

"Ya, Gus?" Risa menoleh ke arah Agus yang posisinya di belakang Risa beberapa langkah.

"Aku... aku suka sama kamu, Sa," ucap Agus, wajahnya memerah tersipu malu. Ini kali pertama Agus mencoba menembak cewek untuk jadi pacarnya.

"Ehh, maksudnya?" Risa kaget dengan ucapan Agus.

"Iya, aku suka sama kamu, Sa. Jangan ditanyain lagi nih, Sa. Grogi aku kalau bilang 'aku suka kamu' berulang-ulang," jawab Agus sembari menoleh kesana-kemari mencoba tidak menatap langsung Risa karena merasa malu.

Mereka berdua berhenti melangkah seketika. Saling menatap, wajah mereka merah tersipu malu.

"Mau ga kamu jadi pacarku, Sa?" tanya Agus lagi tiba-tiba, memecah hening saat itu.

Risa hanya diam. Setelah beberapa waktu di mana mereka saling melirik dengan wajah merah tersipu malu. Risa akhirnya membuka mulutnya, "I... iya, Gus." Suara Risa terdengar pelan dan kurang jelas ketika menjawab.

Baca juga: Cerpen: Satu Hari Lagi

"Apa, Sa?" tanya Agus, mencoba memastikan yang Risa ucapkan.

"Iya, aku mau," jawab Risa lagi tapi kali ini dengan suara lebih keras dari sebelumnya.

Sontak Agus mengepalkan tangan dan berkata, "Yes!"

Setelah mendengar jawaban itu, Agus pun tersenyum, senyum manis yang sebenarnya Risa suka. Senyum yang mampu melelehkan hatinya, senyum yang muncul di bayang-bayang mimpi Risa.

Hubungan Agus dan Risa pun berlanjut hingga 4 bulan kemudian. Bulan di mana semua kebahagiaan Risa hilang dalam sebuah berita. Berita akan kehamilannya. Risa mengetahui itu sewaktu curiga dengan jadwal datang bulannya yang terlambat dari biasanya. Dia bercerita ke temannya, berkata kalau jadwal datang bulannya telat, bertanya kira-kira apa penyebabnya. Temannya pun menjawab, itu bisa jadi karena stres, masalah pola makan dan tidur, atau hamil.

Mendengar jawaban terakhir temannya, Risa panik. Dia tidak sedang stres, pola makannya baik-baik saja. Tidurnya juga cukup, tidak begadang dan sebagainya. Masa sih hamil, pikir Risa. Untuk memastikan itu, Risa memutuskan untuk melakukan tes kehamilan dan setelah tes, Risa menemukan kalau hasilnya positif.

Dua minggu berlalu setelah kehamilan itu diketahui Risa, dia memutuskan bertingkah biasa saja, merahasiakan hal tersebut dari Agus, tapi akhirnya Risa memutuskan menceritakan kabar itu ke Agus. Agus kaget mendengar cerita itu, tidak percaya. Selama ini dia selalu menggunakan pengaman ketika sedang melakukan hubungan intim dengan Risa, tapi kok Risa bisa hamil. Agus tidak percaya, dia yakin kalau itu bukan salahnya. Agus merasa belum siap dengan segala hal seperti kehamilan, pernikahan, anak dan sebagainya. Dia punya mimpi yang ingin digapai, berkuliah dan membangun usaha miliknya sendiri.

Sementara Risa, dia sedih, kecewa atas jawaban dan reaksi Agus. Agus memintanya menggugurkan kandungan tersebut, awalnya Risa menolak tetapi akhirnya Risa setuju. Agus berkata agar tidak menceritakan hal ini ke siapa pun, termasuk orang tua mereka. Kalau ketahuan, bisa kacau keluarganya, Bapak dan Ibunya pasti akan marah besar. Tapi dia juga tidak tega membunuh janin yang ada diperutnya. Namun, Agus meyakinkan kalau itu adalah keputusan terbaik untuk mereka berdua, orang tua Risa tidak akan tahu dan tidak akan ada marah-marah, rencana Agus dan Risa akan masa depan juga akan tetap berjalan.

Beda ceritanya lagi kalau harus menjaga kandungan tersebut. Masa depan Agus dan Risa akan berantakan. Agus harus menikahi Risa dan mulai bekerja untuk menafkahi Risa, tidak bisa melanjutkan kuliah yang diingikannya. Begitu juga Risa, dia akan kehilangan kesempatan kuliah, keluarganya bisa berantakan.

Akhirnya, Agus dan Risa saling setuju untuk menggugurkan kandungan tersebut. Agus membeli pil untuk menggugurkan kandungan, dia meminta Risa meminumnya dalam waktu seminggu ke depan. Risa menerimanya, meminum pil tersebut.

Pada hari ke 4 meminum pil itu, Risa pendarahan. Malam itu dia tengah berada di kamarnya, di rumahnya. Orang tuanya sedang menonton TV di ruang keluarga. Karena panik dia mengalami pendarahan, Risa pun berteriak meminta tolong. Ayah dan Ibunya segera menghampiri Risa di kamarnya. Mereka kaget, di lantai menggenang darah, dan Risa yang berdiri tidak jauh menampilkan wajah pucat. Wajah ibunya berubah karena panik dan cemas dengan keadaan anaknya. Ayahnya segera menelepon rumah sakit, meminta untuk segera dikirimkan ambulan ke rumahnya.

Baca juga: Cerpen: Satu Harapan Ketika Pandemi

15 menit kemudian ambulan datang. Risa dinaikkan ke mobil ambulan. Bapak dan Ibunya menemani di bangku penumpang. Dalam perjalanan Risa bercerita.

"Bu, Bapak, maafin Risa karena tidak cerita sebelumnya." Suara Risa terdengar lirih. "Risa hamil, tapi Risa takut Bapak Ibu marah kalau tahu Risa hamil, Risa akhirnya memutuskan menggugurkan kandungan Risa dan tidak menceritakan ke Bapak Ibu," ucap Risa dengan sisa tenaganya yang lemah. Risa pun tak sadarkan diri.

"Iya, Sa. Jangan sedih, Risa cukup diam dan istirahat ya. Ibu Bapak tidakmarah, kok." Tetes air mulai mengalir dari mata Ibunya sembari mencoba menenangkan anaknya.

"Pak, cepat, pak," teriak bapaknya Risa ke supir ambulan setelah melihat kondisi anaknya.

Setelah 20 menit perjalanan yang terasa sangat lama. Akhirnya mobil ambulan yang membawa Risa tiba di rumah sakit. Risa segera dibawa ke ruang ICU. Dokter pun segera ke ruang ICU. Setelah diperiksa sang dokter. Bapak dan ibunya Risa menerima kabar duka. Risa meninggal dunia, tidak tertolong karena kehilangan banyak darah akibat pendarahan yang dideritanya. Ibunya Risa menangis sejadi-jadinya hingga pingsan. Bapaknya juga menangis, tetapi dalam diri sang bapak, muncul sebuah bibit. Bibit dendam dan benci kepada orang yang bertanggung jawab atas kematian anaknya. Agus, pacarnya Risa. Bibit itu tumbuh, membuat bapaknya Risa kehilangan akal sehatnya.

Tanpa berpikir panjang, bapaknya Risa langsung pergi meninggalkan rumah sakit. Pulang ke rumah, mengambil pisau di dapur rumahnya. Dengan emosi dan dendam yang terus tumbuh, bapaknya Risa langsung berangkat lagi, menuju rumahnya Agus. Orang yang telah menghamili anaknya dan membuat anaknya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.

Jam menunjukkan pukul delapan tepat. Agus malam ini berencana akan menghampiri Risa di rumahnya. Agus pun berangkat menggunakan sepeda miliknya. Di perjalanan, Agus bertemu dengan bapaknya Risa. Ada yang berbeda malam ini, wajah bapaknya Risa tampak murka. Di tangan bapaknya Risa, menggantung sebuah pisau daging yang berkilau terkena cahaya redup lampu jalan. Agus berhenti, menyapa bapaknya Risa.

"Malam, pak. Mau ke mana? Kok bapak bawa-bawa pisau?" tanya Agus karena penasaran dengan tingkah bapaknya Risa.

Tanpa pikir panjang, mengabaikan pertanyaan Agus, dan dengan tiba-tiba bapaknya Risa menyerang ke arah Agus. Pisau teracung ke arah dadanya Agus, bapaknya Risa berusaha menusuk Agus. Agus mengelak. Bapaknya Risa berbalik kemudian mencoba memosisikan diri untuk menyerang Agus lagi. Namun, gerakan bapaknya Risa tiba-tiba terhenti, kaget melihat posisi Agus yang terbaring di jalan. Agus terjungkal dari sepedanya ke sisi kiri jalan. Kepalanya menghantam batu yang berada di sisi jalan karena mencoba menghindar dari sergapan bapaknya Risa. Agus tak sadarkan diri. Tetapi karena angkara murka, bapaknya Risa maju ke arah Agus, pisau terarah ke punggung Agus yang terbaring tak sadarkan diri.

Sang bapak pun menusuk Agus dengan pisau yang diambil di dapur rumahnya itu. Darah keluar dari luka tusukkan tersebut, menyiprat ke baju, muka dan rambut sang bapak. Tetapi, bukannya merasa ngeri dengan tindakannya, sang bapak malah menusuk tubuh Agus lagi, dan lagi, dan lagi. Berkali-kali.

Empat menit berlalu, tapi bapaknya Risa belum berhenti. Dia sekarang membalikkan tubuh Agus, menelanjanginya. Kemudian, kedua kaki Agus dicincang, dipotong hingga putus. Begitu juga tangannya. Darah menggenang di jalan, merah, kental, kehitaman karena gelapnya malam. Wajah sang bapak penuh dengan cipratan darah. Kaos hijau yang dipakainya berubah gelap, lengket oleh darah yang mengental. Mata sang bapak tampak tajam, menatap tubuh Agus yang sudah tidak bernyawa. Kali ini sang bapak menyayat lehernya Agus, seperti sedang menjagal hewan, ditebas pisau itu ke lehernya Agus, tidak ada darah yang muncrat, hanya untaian kulit yang berdarah. Belum selesai di situ, sang bapak memutuskan untuk memotong kemaluannya Agus, memasukkannya ke mulut Agus. Setelah itu, kepala Agus ditebas lagi hingga terlepas dari tubuhnya. Kepala Agus menggelinding, menjauh dari tubuhnya.

Belum puas, rasa marah dan dendam masih berkecamuk. Sang bapak mengambil karung yang tergeletak di dekat tong sampah yang ada di sudut jalan. Mengisi karung itu dengan tubuhnya Agus. Kemudian sang bapak berjalan ke arah rumahnya Agus, menggotong karung yang sudah berubah warna kemerahan terkena cairan kental dari tubuhnya Agus, darahnya Agus.

Tiba di depan rumahnya Agus, sang bapak mengeluarkan tubuh si Agus, melemparkan tubuh Agus di pekarangan rumahnya Agus sembari berkata, "Mampus kau bajingan." Akhirnya bapaknya Risa pun pulang ke rumah, membersihkan diri, mandi. Setelah itu, bapaknya Risa kembali ke rumah sakit lagi. Bertemu istrinya yang berduka ditinggal anak satu-satunya. Memeluk dan mencoba menenangkan sang istri.

Baca juga: Cerpen: Percaya

Tingkah sang bapak yang memeluk istrinya, menunjukkan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada wajah pembunuh, hanya wajah sedih.

Di rumahnya Agus, sekarang jam menunjukkan pukul 11 malam. Agus belum juga kembali dari rumahnya Risa. Mita, ibunya Agus cemas anaknya belum juga pulang. Akhirnya, Mita memutuskan untuk ke depan rumah untuk melihat dan menunggu Agus. Mita memasukkan kunci ke lubang kunci di pintu, terdengar suara kresek-kresek di halaman rumah. Mita penasaran, Mita mempercepat tangannya. Kunci diputar dan pintu dibuka. Suara tersebut hilang, di luar gelap. Di kakinya Mita, terasa lengket menginjak sesuatu. Mita pun menunduk, melihat ke bawah. Sontak Mita berteriak karena terkejut. Ada kepala seseorang di depan pintu rumahnya. Kepala itu terbalik, hanya terlihat rambut. Mita memanggil suaminya,

"Pak, pak, bapak?!" teriak Mita.

"Ada apa sih, malem begini teriak-teriak?" jawab pak Sabri, kesal karena tontonan televisinya terganggu.

"Ada kepala, pak! Ada kepala orang di depan pintu rumah kita," balas Mita, panik.

"Jangan bercanda kamu, masa ada kepala orang di depan rumah kita malem-malem begini," seru Sabri. Mulai berdiri, berjalan ke arah pintu depan rumah.

"Beneran, pak. Kalo ga percaya coba lihat sendiri."

Sabri menuju pintu depan rumah, penasaran dengan perkataan istrinya dan tidak percaya juga. Tiba di depan rumah, Sabri kaget, benar ada kepala orang di depan pintu rumahnya. Kepala tersebut berdarah, menetes dan mulai kering oleh suhu malam yang dingin.

"Bu, sekarang masuk ke dalam, telepon pak RT dan polisi, bapak akan periksa kepalanya," kata Sabri memerintah. "Dan sebelum itu, ambilin bapak kain, plastik atau apa pun, bu, buat bapak pakai untuk memeriksa kepala itu."

"Baik, pak." Mita pun melangkah, masuk ke dalam rumah dengan tangan gemetar, mengambil kain sesuai permintaan Sabri suaminya. Menyerahkan kain itu ke suaminya, kemudian masuk kembali untuk menelepon pak RT dan polisi.

Setelah menerima kain, Sabri segera memeriksa kepala tersebut. Diraihnya rambut kepala itu menggunakan tangannya yang sebelumnya dibalut dengan kain pemberian istrinya. Kepala tersebut diputar, terlihatlah wajah Agus. Anak Sabri, anak kesayangannya dan satu-satunya. Karena kaget, tanpa sengaja tangan Sabri melepaskan kepala itu, kepala Agus jatuh, menggelinding di kakinya Sabri, Sabri pun berteriak memanggil istrinya.

"Bu, bu, cepat ke depan, bu. Ini Agus, bu. Ini kepalanya Agus anak kita, bu. Ya Tuhan, apa yang terjadi samamu, nak?" air mata Sabri menetes, rasa pilu menyerang dadanya.

Istrinya ke depan, belum sempat menelepon pak RT ataupun Polisi. Dari dalam rumah, dari jauh, tampak kepala tersebut, kepala dengan wajah anaknya. Karena shock melihat kepala di depan rumahnya adalah anaknya sendiri, Mita pun tumbang tak sadarkan diri. Sabri pun langsung ke arah istrinya, mencoba membangunkannya tapi tidak berhasil. Sabri masuk ke dalam rumah, menuju telepon rumah. Memanggil polisi, pak RT dan pak RW.

Pak RW yang tiba pertama, kaget, sepanjang mata memandang di halaman rumah, bercak darah tampak bertebaran di halaman rumah disertai potongan-potongan tubuh seseorang. Pak RT yang menyusul tiba, bersama beberapa warga, semuanya kaget. Mata melotot kesana-kemari melihat halaman rumah yang penuh dengan potongan tubuh orang. Mereka bingung dan penasaran, siapa orang yang mengirim dan meletakkan potongan tubuh di sana.

15 menit berlalu, polisi tiba, Sabri dan istrinya dimintai keterangan sebagai saksi yang menemukan jasad anaknya, si Agus. Garis polisi dipasang di sekeliling rumah. Berita tentang penemuan potongan tubuh yang dimutilasi di depan rumah Pak Sabri sontak menghebohkan warga. Warga-warga mulai berdatangan, penasaran untuk menyaksikan kebenarannya. Dari hasil penyelidikan polisi, ditemukan sidik jari seseorang, setelah ahli forensik memeriksa, sidik jari tersebut diketahui merupakan sidik jari Burhan. Ayah dari Sari, pacarnya Agus.

Polisi segera mendatangi rumahnya Burhan. Burhan ditanyai, wajah Burhan tidak berekspresi apa pun, matanya kosong, Burhan menceritakan semuanya tanpa merasakan apa-apa, mengakui semua tindakannya. Dari bukti yang ada, akhirnya Burhan ditangkap atas dugaan pembunuhan. Burhan divonis penjara seumur hidup. Istrinya Burhan, Asih, mengajukan cerai. Mereka pun berpisah. Asih memutuskan pindah rumah, tinggal di kota lain. Burhan pun mendekam dipenjara atas tindakan sadis dan brutal yang dilakukannya, membunuh Agus dan mayatnya dimutilasi menjadi beberapa bagian.

Nah ini dia, sampailah kita di bagian cerita di mana Sabri mendatangiku untuk meminta bantuan.

Hukuman yang diterima Burham masih belum cukup menurut Sabri. Sabri ingin Burhan tersiksa saat di penjara selama masa tahanannya. Maka dari itu, dia memintaku untuk mengguna-guna Burhan, menyantetnya. Di pertemuan pertama kami, Sabri menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Dia memohon kepadaku agar menyantet Burhan, membuat Burhan menderita di penjara, sakit-sakitan. Aku menerima, dan meminta disediakan hal-hal yang kuperlukan untuk santet itu. Fotonya dengan nama lengkap Sabri di belakang foto, ayam hitam, 3 butir telur ayam kampung, kembang 7 rupa, dan menyan serta sejumlah uang. Sabri mengiyakan, dia akan kembali dalam seminggu.

Setelah seminggu kemudian, pertemuan keduaku dengan Sabri terjadi seperti yang kuceritakan di awal cerita ini. Sabri membawa semua barang sesuai permintaanku, dan aku menerima semua barang itu, berkata kalau santet permintaannya akan kukerjakan dalam waktu 3 hari. Kemudian Sabri kupersilahkan pergi, memberitahukannya untuk jangan datang kalau tidak ada keperluan mendesak, dia bisa melihat sendiri hasilnya. Kalau tidak puas, bisa datang sendiri tapi sebelum itu harus mengabarkan dan membuat janji terlebih dahulu.

Sabri pun setuju, dia pun pergi.

Tiga hari kemudian, kukerjakan permintaan Sabri tanpa ada halangan, semua berjalan lancar.

5 hari berlalu setelah kukerjakan santet itu,terdengar kabar ada seorang warga yang meninggal karena sakit. Tetapi tidakjelas sakitnya apa. Kulit tubuhnya melepuh seperti terbakar, bernanah danmengeluarkan bau busuk. Mendengar kabar tersebut, aku pun tersenyum sembari duduk mengobrol dengan warga di warung,aku meneguk kopi hitam pahit pesananku.

Baca juga: Cerpen: Pesan dari Kami yang Berada di Depan

Posting Komentar

Posting Komentar