57GSGOUiym0RjqT60gh80ahb2hanHpOxHlTDFWHw
Bookmark

Cerpen: Satu Harapan Ketika Pandemi

Pagi ini, aku bangun seperti biasa, rutinitasku biasa saja, sama seperti orang-orang di luar sana. Bangun pagi, mandi dan bersih-bersih serta sarapan jika memungkinkan. Berangkat kerja seperti kebanyakan pekerja kantoran yang kalian kenal. Tidak ada yang spesial dari diriku, bahkan jika aku berjalan di jalanan dan tanpa sengaja melintas di sebelah kalian, pasti kalian akan menganggap aku orang pada umumnya, seperti orang kebanyakan.

Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang menyediakan jasa konsultasi teknologi. Orang IT sebutannya, orang yang dianggap tahu semuanya perihal teknologi yang ada. Bisa menyelesaikan masalah-masalah berbau komputer dan sebagainya, yang padahal tidak berbau atau beraroma apa-apa. Perusahaan tempatku bekerja bisa dibilang bagus, kenapa? Karena segala macam benefit yang kuterima seperti gaji yang gede, jenjang karier yang baik, fasilitas kantor yang bagus dan sebagainya. Seperti perusahaan impian yang diharapkan orang-orang. Tapi semua itu hilang dalam sekejap mata. Itu terjadi kurang lebih sebulan yang lalu.

Saat itu, terjadi sebuah bencana yang mengubah banyak hal. Wabah penyakit, penyakit yang merenggut orang kesayanganku yaitu ayahku. Ayahku tertular penyakit itu, beliau meninggal 8 hari setelah ketahuan tertular. Di saat dia sakit, aku tidak bisa melihat wajahnya, bahkan bertemu saja tidak bisa. Itu karena penyakit tersebut mudah menular ke orang lain. Pemerintah sangat ketat aturannya terutama untuk tidak berinteraksi dekat dengan orang-orang, apalagi yang sudah tertular.

Menurutku, sejak saat itu, kemalangan terus saja menimpaku dan keluarga. Saat akan memakamkan ayahku, tidak ada yang mau membantu, baik itu memandikan, mendoakan hingga menguburkan jasad ayahku, semua dilakukan oleh keluargaku saja. Warga tidak ada yang mau membantu, mereka takut tertular penyakit itu. Takut sakit dan meninggal seperti ayahku. Aku menerimanya, memahaminya, dan memakluminya. Tapi tidak hanya itu saja, mereka bukan hanya tidak mau karena takut tertular, mereka juga mengusir kami. Tidak menerima kehadiran kami di sana, kami dianggap pembawa bencana yang akan menulari mereka penyakit. Mereka melempariku dan keluargaku dengan batu, mengusir kami dengan kata-kata kasar, menyuruh kami pergi dari sana.

Aku tidak menyerah, aku memohon kepada mereka untuk pengertiannya, memohon agar aku bisa memakamkan ayahku dengan layak hingga selesai. Tetapi semua kata-kataku dianggap angin lalu, tidak didengar sama sekali. Bahkan emosi mereka meningkat saat aku mencoba meyakinkan, menganggapku ngeyel dan tidak mau bekerja sama. Terlepas dari lemparan batu, kini mereka meludahku.

Saat itulah hatiku pilu, sakit rasanya diperlakukan seperti itu, bahkan oleh orang yang ku kenal, berdiri di antara para warga dan memakiku. Apa salahku dan keluargaku, kami hanya ingin memakamkan ayahku dengan layak, itu saja, hanya itu.

Akhirnya aku menyerah, aku memutuskan untuk pergi. Ketika dalam perjalanan untuk mencari lokasi baru agar bisa memakamkan ayahku, ada seorang bapak-bapak yang kelihatannya sudah cukup tua mendekati mobil kami.

Baca juga: Cerpen: Dering yang Ditunggu

Dia menaiki motor tuanya, mendekat ke mobil kami, melambai dan berteriak agar kami berhenti. Kami pun berhenti. Bapak itu berhenti di sebelah mobil kami, dia turun dari motor tuanya. Aku pun turun, bertanya kepadanya.

"Ada apa, pak?" dengan wajahku yang masih sedih dan kecewa atas kejadian sebelumnya.

"Oh, ini... Emmm, mas mau memakamkan keluarganya, kan ya?" tanya bapak itu dengan senyum ramahnya. "Kalau benar iya, di tanah saya saja, saya punya tanah yang bisa dipakai. Cukup luas, lahan itu bisa dipakai untuk memakamkan orang. Makam keluarga saya juga di sana, masih luas pokoknya. Kalau mas mau, saya antarkan mas ke sana," ujar bapak itu.

Saat itu, sejenak saya hanya terdiam, mencoba memproses kata-kata bapak itu.

"Ayo, mas, gimana? Mau ga?" ucapnya lagi.

"Ehh, maaf pak melamun saya." Tersadar dari lamunan. "Tapi saya tidak punya uang membayar bapak untuk tanah itu. Terima kasih ya pak atas tawarannya. Saya akan cari tempat pemakaman lainnya saja."

"Wes, ga usah bayar. Ga apa-apa. Mas bisa memakamkan keluarga mas di sana. Tapi, mas kerjakan sendiri, saya ga bisa bantu, saya takut, takut ikutan sakit. Warga lainnya juga begitu," balas bapak itu.

"Tapi pak, beneran ga apa-apa, pak? Ga enak saya, pak," timpaku.

"Ga apa-apa kalau mau. Ya udah sini, kalian ikuti saya dari belakang. Saya antarkan, nanti di sana kalian pilih sendiri lokasinya. Itu lahan punya saya, ga akan ada warga yang menolak. Sayangnya agak jauh dari pemukiman," kata bapak itu, meyakinkanku.

"Terima kasih, pak. Ga apa-apa jauh, yang penting saya bisa memakamkan ayah saya. Saya bener-bener terima kasih banyak, pak, sudah mau membantu saya. Suatu saat akan saya balas kebaikan bapak," kataku ke bapak itu, menyalami bapak itu dan memeluknya.

"Udah, ga apa-apa, ga masalah. Mari, masnya ikut bapak dari belakang."

Aku dan keluargaku pun mengikuti bapak itu yang menaiki motor tuanya. Pergi ke tanah milik beliau untuk memakamkan ayahku. Aku sangat bersyukur sekali karena telah dibantu beliau, ternyata masih banyak orang baik di luar sana. Tanpa beliau mungkin rencana memakamkan ayahku bisa kacau hingga batal.

Dan ya itulah ceritaku, hingga sekarang kondisi negara ini masih belum membaik, wabah penyakit masih menyerang negara ini. Oleh pemerintah, dihimbau agar tidak beraktivitas di luar ruangan jika tidak diperlukan. Nilai tukar uang memburuk, ekonomi berantakan hingga aku diberhentikan dari pekerjaanku di perusahaan yang kuceritakan semula. Tapi, aku tidak kecewa dan sedih dengan hal itu, pekerjaan bisa aku cari nanti. Yang terpenting sekarang adalah aku dan keluargaku. Aku tidak ingin hal serupa kualami lagi, kehilangan orang yang kusayangi dan diperlakukan hina oleh orang lain.

Itu saja yang ingin kuceritakan, ceritaku. Aku berdoa untuk kalian semua yang berada di luar sana.

Semoga kalian yang berada di luar sana sehat-sehat saja. Semoga yang kualami tidak kalian alami. Jangan menyerah, masih banyak orang baik di luar sana. Saling bantu-membantulah. Mungkin kalian tidak akan menjadi orang yang dibantu, tapi kalian bisa menjadi orang yang membantu orang lain, seperti bapak tua yang telah membantuku. Menjadi harapan dan memberi kebahagiaan.

Baca juga: Puisi: Semangat

Posting Komentar

Posting Komentar