"Bintang, sore ini kamu bisa hadir, kan ya?" tanya temanku Bimo, dia baru tiba di sekolah. Bimo orangnya ramah. Bertolak belakang dengan penampilannya yang selalu acak-acakan. Seperti baju yang kotor, wajah yang kumal, dan matanya yang menatap tajam seperti seorang berandalan yang akan menantang kalian untuk berkelahi. 180 derajat berbeda, kalian tidak akan menyangka kalau dia ternyata orang yang cukup perhatian terhadap teman-temannya. Seperti sekarang ini. Dia yang sedang bertanya padaku tentang latihan yang biasanya aku lakukan untuk persiapan mengikuti lomba marching band antar sekolah. Itulah Bimo. Oh, ya satu lagi. Kalian juga tidak akan menyangka kalo Bimo itu hobinya membaca, suka diskusi ini itu. Karena itu dia sekarang terpilih menjadi ketua tim yang akan mewakili sekolahku dalam lomba debat minggu depannya.
Seperti kata pepatah "Jangan hanya menilai buku dari sampulnya" kata-kata yang akan selalu kuingat setelah aku mengenal dan berteman dengan Bimo. Membuka mataku kalau kita tidak boleh menilai orang atas penampilan atau satu hal saja. Harus berkomunikasi, berbicara serta bercerita agar kita paham sebenarnya orang itu seperti apa.
Contohnya dulu, saat awal mula aku bertemu Bimo itu adalah saat rapat OSIS di sekolahku. Dia adalah wakil ketua OSIS. Waktu itu, hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah "Ini anak berantakan banget penampilannya. Wakil ketua OSI, ngga cocok deh kayaknya. Lebih cocok seperti bodyguard-nya ketua OSIS". Rapatnya kemudian dimulai, yang aku tidak sangka adalah ternyata dia yang memimpin rapat itu. Kemampuannya untuk berdiskusi bagus sekali dan dia selalu bertanya pendapat peserta yang lain sebelum memutuskan. Dia juga selalu membawa catatan buat menulis masukkan yang diterima. Hebat menurutku orangnya. Kemudian aku mencoba berkenalan dengannya yang kemudian kami menjadi sahabat hingga sekarang. Pengalaman berharga deh pokoknya, akan selalu kuingat.
"Iya, hadir dong. Kan lombanya seminggu lagi, kalo ngga latihan gimana mau menang?!" jawabku. Aku atau seperti yang kalian tahu, namaku Bintang, adalah seorang siswa SMP di sebuah sekolah negeri di kota asal kelahiranku. Sekolahnya sederhana, hanya ada 3 bangunan dan sebuah lapangan luas. Saat ini aku duduk di kelas VIII bersama sahabatku Bimo, orang yang kuceritakan sebelumnya. Kami berdua sudah saling kenal sejak kelas VII, awal kami bersekolah di sekolah ini. Aku dan dia sekarang merupakan anggota OSIS, dia wakil ketua dan aku suruhannya (bercanda aja ya, jangan serius-serius banget). Aku bagian kemahasiswaan di bidang kegiatan ekstrakurikuler, yang menangani kegiatan diluar sekolah. Saat ini, aku juga tergabung menjadi salah satu pemain di kelompok marching band sekolah. Bermain terompet, alat musik kesukaanku. Ditiup seperti seruling dan kalian akan berjoget selayaknya film-film India, inginnya sih bisa begitu. Baiklah, segitu saja gambaran diriku, yuk lanjut ke cerita.
"Bagus deh, pas banget pula. Aku hari ini juga ada latihan. Kita bisa bareng nanti pulangnya, gimana?", balas Bima dan menanyaiku kembali.
"Oh, boleh. Boleh banget. Kamu latihan juga?" tanyaku balik.
"Iya, karena waktunya udah deket, latihannya diperbanyak. Diskusi tentang topik-topik yang akan dibawakan saat lomba nanti" jawab Bimo menjelaskan. Dia pun duduk di sebelahku. Kami berdua sekelas bersama dan sebangku juga. Sungguh kebetulan luar biasa, benar ngga? Takdir mungkin yang mempertemukan kami. Tapi jangan mikir yang aneh-aneh ya, kami berdua tidak seperti itu.
Bca juga: Cerpen: Muda
"Sama dong kalo gitu. Latihannya jadi banyak. Seminggu ini full banget jadwalku, ngga ada istirahatnya" balasku.
"Ambil istirahat juga dong. Setidaknya sebelum tampil harus istirahat agar waktu tampil nanti penampilannya lebih maksimal. Biar ngga kelelahan juga, malah sakit nanti. Ga bisa tampil" kata Bimo setelah aku berkata demikian.
"Iya, iya. Kayak emak-emak aja kamu, Bim. Sampe ngurusin kesehatan orang segala," candaku.
"Biar menang, Tang. Bangga gitu kalau menang, bener ngga?"
"Iya sih." Tiba-tiba pak Aris masuk ke kelas, pelajaran dimulai ternyata. Karena keasyikan ngobrol, sampai tidak sadar bel sudah berbunyi dan belajar dimulai.
Seperti itulah rutinitasku disekolah, walau agak sedikit berbeda dengan biasanya karena ada tambahan kegiatan dan latihan. Namun, untuk kegiatan belajarnya sama seperti biasa. Datang ke sekolah, masuk kelas atau duduk dulu di depan kelas bareng teman-teman sebelum pelajaran dimulai. Kemudian belajar sesuai jadwal mata pelajaran yang ada dan seterusnya. Ditambah latihan sepulang sekolah untuk mengasah kemampuanku dan Bima untuk mengikuti lomba.
Seminggu berlalu, hari lomba tiba. Pagi ini, aku bersiap-siap memakai seragam marching band sekolahku yang warnanya biru kuning. Ketika memakainya, muncul perasaan bangga yang aneh entah datang dari mana. Percaya diri meningkat walaupun sedikit gugup. Sekolahku sebenarnya jarang mengikuti lomba sama sepertiku, kalaupun ikut jarang sekali menang dan memperoleh peringkat juara. Tetapi, tahun ini sekolahku mengikuti banyak lomba. Mereka berpendapat kalau ini untuk mendukung para siswa mengembangkan bakat mereka serta membuat nama sekolah lebih dikenal lagi. Aku sih setuju, kegiatan ini menjadi sarana siswa untuk mengasah kemampuan lain selain belajar. Tapi sayangnya saja, pengalaman kami kurang sehingga muncul rasa pesimis untuk bisa memenangkan lomba. Ya, menurutku sih selama kita berusaha keras dan rajin, kemungkinan itu ada.
Lombaku jadwal pelaksanaannya lebih awal dari jadwalnya Bima. Jadi Bima dan aku bisa saling menonton dan mendukung. Aku berangkat lebih cepat satu jam sebagai pencegahan terhadap hal tak terduga yang bisa terjadi. Parno memang tindakanku ini, tapi ya sebagai pencegahan tidak ada salahnya kan? Aku pun berangkat, menaiki sepeda motor yang diboncengi oleh ayahku menuju lokasi perlombaan. Jalanan ramai, diisi oleh orang-orang yang akan berangkat kerja, seperti ayahku. Dia mengantarkanku dan kemudian berangkat kerja seperti yang lain.
Aku tiba di lokasi perlombaan. Turun dari motor ayah dan berkata.
"Yah, Bintang berangkat ya, doain semoga Bintang dan teman-teman menang lombanya." Menyalami ayahku dan memintanya berdoa semoga sekolahku menang hari ini.
"Iya, amin. Semoga kamu dan teman-temanmu menang. Ayah ngga bisa hadir buat nonton, maaf ya. Ayah harus kerja soalnya," jawab ayahku.
"Iya, ga apa-apa. Yang penting ayah doain aja," kataku ke ayah. Ayahku tersenyum dan kemudian pamit berangkat kerja.
Di lokasi lomba, sudah ada beberapa orang yang berdatangan, ada yang mengikuti lomba, ada yang sebagai pendukung hingga panitia kegiatan dan para guru. Hari ini sekolah diliburkan, siswa-siswi yang mengikuti lomba, seperti aku contohnya, masing-masing mempersiapkan diri untuk perlombaan. Sementara yang lain diminta untuk hadir sebagai penonton dan mendukung. Aku pun masuk ke bangunan perlombaan itu, luas sekali ruangannya. Ada kursi penonton di mana-mana. Di tengah ruangan ada lapangan luas. Seperti stadion Gelora Bung Karno tapi ukurannya lebih kecil. Sebelumnya aku belum pernah datang ke tempat ini, hanya kulihat dari televisi. Sekarang aku di sini, akan tampil di puluhan hingga ratusan penonton nanti. Rasa gugupku meningkat, kakiku gemetar dan tanganku basah karena keringat. Seperti inikah rasanya saat akan tampil di hadapan banyak orang. Bagaimana dengan pak Presiden ya? Apakah merasakan hal yang sama saat berpidato di lapangan besar saat upacara tujuh belasan. Oh, ya. Kalau sekolahku atau sekolah mana pun yang menang maka mereka akan tampil di upacara tujuh belasan di tingkat provinsi nanti.
Baca juga: Cerpen: Pesan dari Kami yang Berada di Depan
Perasaanku campur aduk saat ini. Senang, gugup, penasaran dan lainnya bercampur aduk. Aku memutuskan untuk duduk disalah satu bangku penonton. Menunggu teman-teman yang lain datang dan menunggu waktu untuk tampil. Aku juga menunggu Bimo, sahabatku, katanya dia akan datang untuk melihat penampilanku dan aku akan menonton dia berdebat. Saling dukung.
Lima menit berlalu, sebagian siswa-siswi sudah pada berdatangan dan menempati kursi-kursi penonton. Lima belas menit kemudian, teman-teman kelompok marching band-ku sudah berdatangan. Mereka keheranan dengan kedatanganku yang sangat cepat dan lebih awal. Aku pun bercerita ke mereka alasanku datang lebih cepat. Acara akan dimulai sepuluh menit lagi, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Bimo. Sekolah kami mendapat giliran kedua untuk tampil. Saat ini kami sedang mengecek alat-alat musik dan mencoba menenangkan diri untuk persiapan tampil nanti. Biasanya penampilan marching band tidak akan lama, sekitar lima hingga sepuluh menitan sesuai lagu yang mereka pilih untuk ditampilkan. Sisa tiga menit lagi, bangku penonton hampir penuh diisi. Suara obrolan mereka terdengar keras dan bergema di ruangan. Tetapi sama saja, dengan sisa waktu dua menit sebelum acara dimulai, Bimo belum kelihatan batang hidungnya. Aku memutuskan kalau aku akan fokus untuk penampilanku, mungkin Bimo telat karna sesuatu hal.
Acara dimulai. Dibuka oleh pidato kepala Dinas Pendidikan setempat. Setelah itu diambil alih oleh pembawa acara. Pembawa acara menjelaskan aturan-aturan untuk peserta dan penonton. Bagaimana cara penilaiannya dan memperkenalkan para juri. Setelah semua pembuka itu, aku melirik ke arah penonton, Bimo belum juga datang. Aku sempat chat ke dia tetapi tidak ada balasan. Ak pikir mungkin dia lagi di perjalanan, terlambat, seorang Bimo tidak mungkin dia tidak hadir karena kami sudah janji.
Giliran pertama pun dimulai, penampilan dari sekolah yang pernah memperoleh juara ketiga ditahun sebelumnya. Rasa gugupku dari waktu ke waktu terus meningkat. Di benakku bertanya apakah kami bisa menang dari mereka, penampilan mereka sangat bagus, tepuk tangan penonton sangat meriah. Bagaimana dengan kami? Kami yang belum pernah sekalipun ikut perlombaan. Mendadak aku pun tersadar dari lamunanku karena panggilan pelatih untuk bersiap tampil. Giliran kami hampir tiba. Kelompok pertama hampir selesai, kami memosisikan diri untuk bersiap tampil saat dipanggil gilirannya. Kelompok pertama mengakhiri penampilan mereka dengan sebuah kalimat yang sepertinya jargon mereka. Mereka pun turun dari panggung, melewati kami. Tersenyum sinis, meremehkan.
Pembawa acara mengambil alih kembali acara, berkomentar tentang kelompok pertama dan sebagainya yang kemudian memanggil kelompok dari sekolahku. Kami maju, sambutan penonton tidak meriah seperti kelompok pertama. Penonton kebanyakan hanya memperhatikan kami, menampakkan wajah penuh selidik mereka kepada kami. Pembawa acara pun kemudian berkata.
"Kita mulai, ini dia penampilan dari SMP 41."
Kami hanya terdiam, terlihat dari wajah teman-temanku yang semuanya tampak gugup. Tiba-tiba dari arah bangku penonton terdengar suara.
"Ayo, semangat. Tarik napas. Terus mulai." Suara itu adalah Bimo. Akhirnya tampak juga batang hidungnya. Kemudian ketua kami langsung berkata, "One, Two, Three, Go."
Kami pun memulai penampilan kami. Para penonton mulai berubah sikapnya, mulai ada yang bertepuk tangan dan sebagainya. Suasa panggung kini sudah tidak setegang sebelumnya. Rasa gugupku mulai tergantikan oleh semangat. Dibangku penonton, para pendukung mulai berseru dan bersiul menyemangati. Semakin tinggi rasa percaya diriku. Kami tampil dengan baik. Para penonton bertepuk tangan memberikan apresiasi mereka terhadap penampilan kami. Penampilan pun selesai, kami tutup penampilan dengan membungkuk dan menghormat ke penonton, memberikan apresiasi kami karena mereka telah menonton dan menyukai penampilan kami.
Waktu berlalu, sekolah demi sekolah tampil satu per satu. Total yang mengikuti lomba hampir 15 kelompok. Menghabiskan waktu dua jam. Dan kini tibalah waktunya penjurian dan pengumuman pemenang. Juara pertama di raih oleh sekolah yang tampil pertama, kemudian juara kedua itu adalah kami. Sekolahku. Aku sendiri awalnya tidak percaya, masuk lima besar saja sudah sangat beruntung karena ini penampilan perdana kami. Tapi kami memperoleh juara dua. Aku senang, berteriak hore dan memeluk teman-teman untuk merayakannya. Dari bangku penonton Bimo juga berteriak, "Selamat ya… Penampilan kalian keren. Sekali lagi selamat." Bimo pun buru-buru pergi karena setelah ini adalah lomba debatnya.
Aku bersyukur bisa punya sahabat seperti Bimo. Temanku sebenarnya banyak, tetapi yang benar-benar bisa dibilang teman adalah Bimo. Selalu mendukung dikala aku kesulitan dan sebagainya. Sebagai balasannya, aku pun mencoba menjadi teman terbaik. Mendukungnya di lomba debatnya, mendengar ceritanya dan sebagainya. Pada awalnya kukira Bimo tidak akan hadir, tetapi aku percaya padanya, dia pasti datang walaupun telat dengan penampilan berantakannya. Dari dulu aku ingin tahu dia ngapain aja hingga bisa berpenampilan begitu, namun ya itulah Bimo, sahabatku, ciri khasnya begitu. Dialah yang menjadi harapanku, yang menjadi penyemangat, sudah seperti orang tua saja. Dan aneh memang hubungan kami, tidak seperti kebanyakan orang. Itu dia cerita kami, aku dan Bimo.
Oh, kalau kalian penasaran apa yang terjadi selanjutnya, itu adalah kelompokku menerima penghargaan dan sebagainya. Setelah itu aku segera pergi ke ruangan lain di mana lomba debat diadakan. Perlombaan debat sangat penuh persaingan, siswa-siswi berargumen untuk membela, berpendapat, mengkritik dan sebagainya. Di sana Bimo menjadi bintang utama, setiap ucapannya selalu menarik perhatian juri dan penonton. Dari caranya berbicara hingga mimik dan gerak-geriknya di sana. Di akhir perlombaan, Bimo dan kelompoknya menang dan memperoleh juara pertama. Selama perlombaan aku menyemangatinya dari bangku penonton, bertepuk tangan setiap dia memenangkan argumen. Itulah akhir ceritanya.
Sebelum menutup cerita, aku punya pertanyaan. apakah kalian punya sahabat atau teman dekat seperti aku dan Bimo? Kalau iya, maka bersyukurlah, hari-hari kalian pasti menyenangkan sepertiku, bisa melakukan berbagai hal bersama. Sampai ketemu dicerita kami lainnya. Aku akan menulis kalau kami sudah punya cerita unik lain, sampai jumpa ya. Semoga saja aku tidak malas menulis cerita lagi.
Baca juga: Bersabar dan Lihatlah (1)
Posting Komentar