57GSGOUiym0RjqT60gh80ahb2hanHpOxHlTDFWHw
Bookmark

Cerpen: Satu Hari Lagi

Sebelum memulai cerita ini, mari kita kenalan dulu. Namaku Fani, saat ini umurku itu 15 tahun. Anak dari ibu Rika dan bapak Beni. Aku anak ke dua dari tiga bersaudara. Sekarang ini aku duduk di kelas IX bangku sekolahan di daerah asalku, kota Bandung. Aku suka membaca, membaca cerita-cerita remaja dan fantasi selayaknya anak di usiaku. Kalau ditanya genre cerita apa yang kusuka, pastinya bukan roman cinta, menurutku ceritanya tidak seindah kenyataan. Pahit seperti kisah cintaku, tetapi tulisan ini bukan tentang kisah cintaku melainkan cerita tentang perjuanganku agar selalu bisa bersama dengan keluargaku.

Dulu, aku adalah anak sekolahan pada umumnya, anak dari keluarga yang utuh. Punya teman di sekolah, punya sahabat yang sangat dekat denganku, papa mama yang selalu ada dan mendukungku, dan kakak adik yang bisa diajak curhat, yang mengerti denganku. Tapi sekarang semuanya berubah, semenjak aku sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit.

Kejadiannya itu sekitar beberapa bulan yang lalu. Saat itu, aku berangkat sekolah seperti biasanya, menyapa dan berbicara dengan teman seperti biasanya. Tetapi aneh, pada jam pelajaran ketiga, tiba-tiba saja tubuhku lemas. Awalnya aku pikir itu mungkin karena aku kelelahan, namun tidak sampai di situ saja. Dadaku mulai sesak, kepalaku sakit dan pusing, mataku mulai buram. Aku pun tak sadarkan diri. Tidak ingat apa-apa yang terjadi setelah itu.

Aku terbangun di ruangan UKS sekolahku. Terbaring di ranjang yang biasanya digunakan untuk siswa yang sakit. Dan kali ini aku yang sakit. Di sana, aku ditemani oleh beberapa temanku dan wali kelas. Mereka yang menyadari ketika aku sudah siuman, langsung menghujaniku dengan berbagai pertanyaan seperti "Kamu baik-baik saja?, Gimana perasaanmu?, Kamu sakit?" dan sebagainya. Awalnya aku merasa risi dengan hal itu tapi saat itu aku pun tahu kalau merekalah yang peduli denganku, yang menolongku ketika aku pingsan di kelas. Aku pun memutuskan menjawab pertanyaan mereka, berkata kalau aku baik-baik saja dan hanya sedikit merasa pusing, berusaha membuat mereka tidak khawatir.

Hari itu aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah lebih cepat. Pihak sekolah telah menghubungi orang tuaku, mengabarkan kejadian di sekolah hari ini. Aku pun pulang ke rumah. Di rumah, orang tuaku sudah menungguku. Bertanya ini itu seperti teman-temanku dan guruku saat aku berada di sekolah dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama, kalau aku hanya tidak enak badan, hanya sakit kepala. Orang tuaku menyuruhku istirahat di rumah selama dua hari. Hingga kondisiku membaik baru aku diperbolehkan masuk ke sekolah lagi.

Malangnya, ke esokkan harinya, kejadian serupa di sekolah terjadi padaku di rumah. Orang tuaku panik, mereka segera menelepon rumah sakit terdekat, meminta dikirimkan mobil ambulans dan membawaku ke rumah sakit. Aku tersadar ketika mobil ambulans masih melaju menuju rumah sakit. Orang tuaku duduk di sebelahku, begitu juga kakak dan adikku. Setibanya ambulans di rumah sakit, aku segera di bawa ke ruang UGD, aku diperiksa oleh dokter, dokter menyarankan ke orang tuaku untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut karena ini kejadian kedua kalinya dan dalam waktu yang sangat dekat.

Orang tuaku setuju. Aku pun menjalankan berbagai tes kesehatan di sana. Mulai dari fisik, darah, hingga X-Ray dan rontgen. Hasilnya akan siap ke esokkan harinya. Kami dipersilahkan pulang, tetapi orang tuaku yang cemas dengan keadaanku yang tiba-tiba pingsan sebelumnya, dua kali, di sekolah dan di rumah. Mereka menyaranku untuk rawat inap di rumah sakit sembari menunggu hasil tes yang aku lakukan. Aku tidak keberatan, dan menyetujuinya, rawat inap di rumah sakit. Aku pun beristirahat di rumah sakit, ditemani mama. Papa pulang bersama kakak dan adikku. Papa harus masuk kerja besok, sementara kakak dan adikku harus sekolah.

Baca juga: Cerpen: Satu Harapan Ketika Pandemi

Hari berlalu, paginya, kejadian yang mirip terulang lagi. Kali ini lebih ekstrem, aku tidur dan tidak bangun-bangun, mamaku panik, menangis. Berteriak memanggil dokter dan suster. Dokter pun datang, memeriksaku. Kondisiku saat itu hanya diam, tidak bergerak hampir seperti mayat yang sudah kaku. Mama ditemani suster, suster mencoba memenangkannya. Setelah beberapa waktu, mamaku yang sudah cukup tenang menelepon papaku agar segera ke rumah sakit. Sementara itu, dokter yang memeriksaku belum bisa memberi diagnosa. Harus menunggu hasil tes yang aku lakukan sebelumnya. Mendengar itu, mamaku meminta agar hasilnya dipercepat.

Dua jam berlalu, papa sudah tiba di rumah sakit, mereka menemaniku di ruangan aku dirawat. Terdengar suara ketokan dari pintu, dokter pun masuk. Dokter sudah menerima hasil tesku sebelumnya. Dari tes fisik dan rontgen, tidak ada yang aneh tetapi dari hasil tes darah ditemukan kalau dalam darahku terdapat virus, virus yang menyerang kekebalan tubuh, Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang tuaku kaget, kenapa bisa penyakit itu ada di tubuhku. Kemudian dokter menjelaskan, virus ini bisa terjangkit melalui pertukaran cairan seperti hubungan intim, luka, atau donor darah. Kata-kata terakhir dokter menjelaskan semuanya.

Beberapa tahun sebelumnya, aku pernah mengalami kecelakaan. Waktu itu aku masih SD, sering bermain sepeda di kompleks perumahanku. Aku mengalami kecelakaan pada sore hari, di serempet oleh sepeda motor yang muncul tiba-tiba dari belokan jalan, kepalaku berdarah dan aku kehilangan banyak darah. Untuk menyelamatku, maka dilakukanlah transfusi darah. Inilah yang sepertinya menjadi penyebab aku memiliki virus ini di dalam darahku.

Saat akhirnya diketahui kalau aku memiliki virus ini, kondisiku sudah cukup parah. Kekebalan tubuhku menurun sangat cepat karena terlambat di diagnosa atau diketahui. Dokter menyarankan agar aku dirawat di ruangan terisolir sehingga tidak mudah terinfeksi oleh berbagai bakteri dan virus lainnya. Tubuhku saat ini rentan, nyawaku menjadi taruhannya, sakit sedikit saja maka aku bisa kehilangan nyawaku. Contoh saja seperti sakit kepala yang aku derita, baru sembuh setelah tiga minggu menjalani pengobatan, meminum berbagai obat dan beristirahat di ruang yang terisolir. Aku sempat beberapa kali koma dan tak sadarkan diri karena sakit kepala itu, sakit yang biasanya akan mudah di obati.

Selama ini, orang tuaku selalu bersamaku, berada disisiku, begitu juga kakak dan adikku. Mencoba menghiburku selama aku menjalani pengobatan. Aku tahu kalau sakitku ini tidak bisa disembuhkan, aku tahu orang tuaku sebenarnya sedih melihat kondisiku tetapi mereka mencoba tegar, menghiburku dan menghabiskan waktu mereka bersamaku. Selama perawatan, aku selalu berdoa kepada Tuhan.

Ya Tuhan, tolong bantu aku, berikan aku kesehatan, menjagaku satu hari lagi agar aku bisa bersama keluargaku lebih lama satu hari lagi, membuat kenangan indah bersama mereka, untuk mereka dan untukku. Lindungilah keluargaku, tabahkan hati mereka agar mereka bisa kuat menghadapi cobaan ini.

Setiap hari seperti itu, ketika bangun tidur aku berdoa dan sebelum aku tidur aku berdoa, berharap aku bisa menghabiskan waktu dengan keluargaku lebih lama, sehari lagi saja. Itu aku lakukan hingga sekarang.

Ketika kalian membaca cerita ini, mungkin aku sudah pergi melanjutkan petualanganku di tempat yang baru atau masih berjuang di rumah sakit bersama keluargaku, mencoba untuk bertahan satu hari lagi. Aku berharap kalian yang berada di luar sana untuk tidak cepat menyerah. Berjuanglah, berharaplah, dan berdoalah sepertiku. Kita berjuang bersama melawan cobaan yang kita alami.

Baca juga: Cerpen: Manusia

Posting Komentar

Posting Komentar