57GSGOUiym0RjqT60gh80ahb2hanHpOxHlTDFWHw
Bookmark

Cerpen: Manusia

Tahun 2031.

"Hai, Her. Bagaimana tangkapan hari ini?" tanya Chard.

"Cukup bagus, bisa untuk bahan makanan sampai besok siang. Sedang apa kamu di sini? Tidak biasanya kamu kemari," tanyaku sembari menarik tali pancing yang baru saja bergetar, tanda umpan pancingan dimakan ikan.

"Ingin bertemu denganmu, Her," jawabnya.

"Oh ya?! Ada apa?" balasku.

"Kira-kira setengah jam yang lalu Adit melihat ada helikopter di sebelah utara hutan. Memutar dan kemudian hilang," Chard melaporkan. "Entah dari mana asalnya, tapi sepertinya mereka sedang mencari sesuatu."

"Baiklah, terima kasih laporannya. Nanti akan kita bicarakan lagi saat pertemuan malam ini," jawabku. "Oh ngomong-ngomong, itu ...” menunjuk keranjang ikan yang posisinya tidak jauh darinya. “Ambillah beberapa ekor ikannya. Tangkapanku banyak siang ini," aku menawarkan ikan hasil pancingannya.

"Terima kasih,” balas Char. “Aku ambil dua ekor saja, untukku dan adikku." Chard ke arah keranjang ikan, mengambil dua ekor ikan, mengikatnya dengan akar pohon yang selalu dia bawa. Entah apa alasannya, Chard selalu membawa akar pohon yang digulung dan digantung di pinggulnya. Chard pun pergi, kembali ke desa.

Empat tahun sudah berlalu semenjak bencana dahsyat yang terjadi pada Bumi. Sekarang ini kami tinggal di sebuah pegunungan yang mungkin dulunya adalah area Puncak Bogor. Sekarang posisinya entah di mana, menjadi dataran rendah seperti kota DKI Jakarta dulu. Sementara DKI Jakarta, hancur, tenggelam oleh air laut atau turun ke dasar laut, aku tidak tahu yang mana, yang pasti sekarang hanya terlihat hamparan air laut. Peristiwa yang terjadi empat tahun lalu itu sangat sulit dijelaskan. Terjadi beberapa gempa besar 9,5 magnitudo secara bersama di berbagai belahan dunia. Tanah hancur karena gempa yang kemudian disusul gunung meletus dan tsunami tinggi.

Saat itu aku sedang berada di kos-kosan, beraktivitas seperti biasanya setelah pulang dari kerja. Aku bekerja sebagai seorang staff di sebuah perusahaan. Ketika gempa itu terjadi, aku baru saja tiba di kamar kosku yang barada di lantai 3, tiba-tiba saja bangunan kos bergetar dahsyat. Langit-langit di atasku pada berjatuhan, lampu tiba-tiba padam. Barang-barang yang kuletakkan di kamarku, semuanya berjatuhan. Aku pun lari menuruni tangga, mencoba menyelamatkan diri. Instingku berkata lari, lari sejauh-jauhnya, selamatkan dirimu. Dan benar saja, setelah aku lari menjauh dari gedung kos tersebut, bangunan itu runtuh. Puing-puing berserakan di mana-mana. Semua bangunan yang kulihat hancur, ada yang hancur sebagian, retak-retak, hingga yang rata dengan tanah. Orang-orang semua mencoba menyelamatkan diri. Berlari ke sana-kemari. Tatapi yang menakutkan bukan itu, yang menakutkan adalah hal yang akan terjadi setelahnya.

Baca juga: Cerpen: Percaya

10 menit berlalu semenjak gempa pertama, sekarang tanah masih bergetar tapi tidak seperti sebelumnya. Setidaknya aku bisa berjalan tanpa limbung. Aku pergi ke jalanan, mencoba mencari bantuan. Tetapi percuma, semua orang sama sepertiku, menjadi korban dari bencana ini. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada sebuah mobil, di dalam mobil itu ada penumpangnya. Tiga laki-laki dan seorang wanita. Mobil tersebut tidak bergerak, tertimpa reruntuhan bangunan. Terjepit. Aku memutuskan membantu mereka, aku pun mendekati mobil itu. Memecahkan kaca mobil tersebut dan membantu mereka keluar.

"Kalian baik-baik saja?” tanyaku.

"Terima kasih sudah membantu kemi keluar dari mobil. Kenalkan namaku Chard, ini adikku Leo dan ini teman-temanku. Gina, Adit, dan Wawan," jawab Chard, membersihkan pakaiannya yang berdebu oleh bangunan yang runtuh.

"Namaku Herry. Syukurlah kalian baik-baik saja," timpalku. Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara sirene dari jauh. Kami berlima saling memandang, memperlihatkan wajah bingung, penasaran dengan suara tersebut.

"Ada yang tau suara apa itu?" tanya Adit.

"Ga tau, mungkin alarm bangunan," jawabku.

"Sepertinya bukan, itu seperti suara mobil pemadam kebakaran. Dilihat dari situasi sekarang ini, ya itu sih yang paling bisa menjelaskan," jelas Wawan.

Kami tidak berkomentar, menerima jawaban Wawan. Aku memutuskan bergabung bersama mereka. Kami sepakat untuk mencari mobil yang masih berfungsi dan akan pergi ke tempat yang lebih aman. Setelah kurang lebih lima menit mencari dan mencoba berbagai mobil, kami menemukan satu, bukan kami, lebih tepatnya Gina. Dia yang melihat mobil itu, meminta kami mencoba menyalakannya. Dan berhasil menyala. Dengan mobil itu, kami bisa pergi ke tempat yang lebih aman.

Tiba-tiba saja ketika kami akan berangkat, tanah bergetar lagi. Kali ini berbeda, getaran tidak beraturan, tidak seperti gempa. Ada suara orang berteriak di kejauhan. Kami semua diam, melihat ke segala arah mencari tahu apa yang terjadi. Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang berteriak.

"Air, lari... Lari ke tempat yang lebih tinggi. Lari… Air datang."

Kami semua bingung, apa maksudnya air. Namun, kami pun sadar, berawal dari gempa, tanah yang diam tiba-tiba bergetar lagi dan air. Ini tsunami, hal yang terjadi setelah gempa besar. Semua panik, berteriak ke Adit yang duduk di kursi pengemudi. Menyuruhnya segera pergi, ke tempat lebih jauh lagi, lebih tinggi. Ke daerah Bogor.

Mobil pun berjalan, di sekeliling kami terdengar suara teriakan dan jeritan. Ada yang meminta tolong, ada yang ingin menumpang dan sebagainya. Tapi kami tidak berhenti, kami semua sudah sepakat untuk pergi, menghiraukan suara di luar sana. Memulai perjalanan dengan tujuan Puncak Bogor. Di perjalanan, suara teriakan dan jeritan terdengar jelas di belakang kami. Perjalanan terasa lebih lama dari biasanya, dihiasi teriakan dan jeritan orang-orang di luar sana. Kami hanya diam, Adit yang mengemudi hanya fokus ke jalan, tidak mengucap sepatah kata pun.

Berjam-jam berlalu, kami tiba di kawasan Puncak Bogor. Dari balik kaca mobil, di belakang sana yang terlihat hanyalah air sejauh mata memandang, tidak ada lagi bangunan. Bahkan tidak ada lagi kota. Kemudian kami menyadari sesuatu yang lain, tidak ada suara. Sunyi. Di mana suara orang-orang yang sebelumnya berteriak, ke mana mereka? Kami tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di belakang sana.

Itulah kejadian empat tahun lalu, kami memutuskan untuk tinggal di sini sekarang.

Langit sudah menguning, menunjukkan kalau hari sudah sore dan tangkapanku cukup banyak hari ini. Aku memutuskan untuk kembali. Membersihkan diri, menyiapkan makan malam dan menghadiri pertemuan malam ini. Pertemuan tersebut diadakan untuk membicarakan tentang seorang anak yang kami temukan sendirian di hutan. Sebagai tambahan, juga tentang helikopter yang sebelumnya dilaporkan oleh Chard. Waktu menunjukkan pukul 7 lebih 15 menit. Pertemuan akan dilaksanakan 15 menit lagi di rumahku. Aku yang menjadi pemimpin di sini, menjadikan rumahku sebagai tempat pertemuan kelompok. Mendiskusikan berbagai hal.

Tok, tok, tok. Suara terdengar dari arah pintu. Aku membukanya, orang yang datang pertama adalah Wawan. Tidak lama berselang, datang lagi yaitu Adit, Gina, Chard, Desi bersama Dede, Rohk dan beberapa kepala rumah lainnya. Namun, belum sempat memulai pertemuan, terdengar suara dari luar, suara mesin, suara baling-baling yang berputar kencang. Ada warga yang datang ke rumahku, mengabarkan kalau ada helikopter yang sedang berputar mengelilingi desa kami. Melemparkan sesuatu, benda tersebut memunculkan asap kemerahan. Ada beberapa rumah yang terkena lemparan tersebut. Para warga panik, mereka berkumpul di alun-alun di tengah desa.

Baca juga: Cerpen: Satu Harapan Ketika Pandemi

Aku memutuskan untuk menunda pertemuan, pergi ke alun-alun untuk memeriksa keadaan. Tiba di alun-alun desa, helikopter tersebut telah pergi, tidak terdengar suara mesinnya lagi. Beberapa tempat di desa tertutupi asap kemerahan, termasuk beberapa rumah warga. Para warga yang panik, bertanya berbagai hal. Takut dengan asap merah itu. Aku pun memeriksanya. Salah satu asap yang terdekat ada di kandang sapi milik warga. Aku pun ke sana. Mencari tahu asal asap itu. Setelah diperiksa, asap itu muncul dari semacam tabung, dan tabung itu bercahaya. Dari pengalamanku, itu pasti suar yang di lemparkan. Untuk menerangi jalan atau memberi sinyal.

Kuceritakan apa yang kutemukan ke warga, mencoba meyakinkan kalau itu hanya suar biasa. Mungkin orang yang di helikopter ingin tahu apa yang ada di sini. Desa ini gelap, penerangan hanya berasal dari obor. Karena itu, mereka melemparkan suar agar bisa melihat lebih jelas. Itulah kataku. Setelah menjelaskan, aku meminta warga untuk kembali ke rumah masing-masing, beristirahat. Berkata kalau mereka tidak perlu takut, persoalan ini akan dibahas di pertemuan besok, yang sayangnya tidak akan pernah terjadi.

Keesokan paginya, aku terbangun dari tidurku oleh suara teriakan warga. Salah seorang warga teriak, anaknya meninggal, tubuh anaknya keras, bola matanya hitam sepenuhnya, tanpa lingkaran putih seperti mata manusia pada umumnya. Bibirnya membiru. Dari mulut anaknya keluar busa. Korbannya bukan hanya anak itu. Ada warga lainnya yang mengalami hal serupa. Meninggal dengan kondisi sama. Sebagian warga lain yang selamat, mulai sakit-sakitan. Bibir mereka mulai berubah warna. Terjadi sesuatu. Pikiranku langsung teringat dengan kejadian semalam, asap kemerahan. Racun? Atau penyakit?

Aku segera membantu para warga. Sebelum itu, aku memutuskan menutup hidungku dengan kain basah, sebagai pencegahan kalau itu racun atau penyakit menular. Aku menuju alun-alun. Sampai di sana, aku menemukan Dede. Sedang menangis, di depannya terbaring seseorang. Setelah kulihat, itu adalah Desi. Wanita yang aku amanahkan agar menjaga Dede, merawatnya sementara. Dede adalah anak yang kami temukan sedang sendirian di hutan. Aku memeluknya, mencoba membujuknya untuk pergi berlindung di rumahku. Walaupun baru beberapa hari Dede bersama kami, tetapi dia sangat akrab dengan warga di sini, terutama Desi. Sudah seperti kakaknya. Dede pasti sedih sekali sekarang ini.

Setelah beberapa menit menemani dan membujuknya, Dede akhirnya mau untuk pergi berlindung di rumahku. Aku menitipkan Dede pada Gina yang sedang bersamaku. Awalnya dia ingin melaporkan kejadian ini. Aku bertemu dengannya di tengah jalan saat mau ke alun-alun, dia akhirnya mengikutiku. Aku memintanya untuk membawa Dede ke rumahku dan berlindung di sana, sementara aku akan membantu warga lainnya.

Dari pagi hingga sore, aku mencoba membantu warga, tetapi percuma. Banyak warga menjadi korban, baik itu yang sejak pagi sudah ditemukan meninggal atau mereka yang mulai sakit. Mereka meninggal juga, tidak banyak yang tersisa, hanya beberapa orang saja yang selamat. Termasuk aku, Gina, Dede, Wawan dan Adit. Chard dan adiknya menjadi korban, teman dekat kami yang sudah bersama kami semenjak bencana dulu. Kami yang selamat berkumpul di rumahku yang sekarang menjadi tempat berkumpul warga untuk mengungsi karena rumahku tidak terkena asap merah itu.

Di rumahku, kami berdiskusi, mencari akar masalah ini. Yang akhirnya kami semua menyimpulkan kalau ini semua disebabkan oleh asap merah yang keluar dari tabung pada malam sebelumnya. Asap tersebut pasti racun atau semacam senjata kimia. Hal lainnya, entah kenapa kami selamat, kami yang di malam sebelumnya juga terkena asap merah itu. Maka dari itu kami menyimpulkan kalau asap itu tidak berpengaruh kepada kami, kami kebal.

Terdengar suara mesin helikopter lagi, kali ini sangat dekat. Terdengar suara tembakan diikuti suara ledakan. Kami semua berlindung. Orang-orang di helikopter itu menembaki pemukiman dengan semacam pelontar granat. Aku memutuskan untuk mengintip melalui jendela, melihat kondisi di luar. Di luar, rumah di ujung alun-alun hancur dan terbakar. Saat itu juga aku berkata ke yang lain, kita harus pergi, berlindung ke air terjun yang tidak jauh dari sini. Kami semua setuju. Kami pun menyelinap dari pintu belakang rumah, secara diam-diam bergerak ke arah hutan di timur, menuju air terjun yang berada di sana. Kami akan berlindung di sana.

Selama tiga jam kami mendengar suara tembakan dan ledakan. Kami meringkuk di balik air terjun, menyamarkan suara kami dengan deburan air terjun. Kami semua berdiskusi dan muncul sebuah kesimpulan. Kalau ini merupakan ulah orang-orang di helikopter tersebut, mereka membuat kami sakit. Setelah itu memusnahkan bukti kejahatan mereka. Tapi sayangnya mereka tidak akan menduga kalau ada yang selamat. Kami sepakat untuk memerangi mereka, kami akan mencari bala bantuan dan membantu orang-orang yang memerlukannya, terutama yang nasibnya sama seperti kami. Selain itu, kalau memang benar kami orang yang kebal terhadap apa pun yang ada di asap merah itu, kami akan membantu mereka yang sakit karenanya, memberikan darah kami. Saling menolong, bertahan hidup dan melawan mereka, penyebab semua ini. Membangun peradaban lagi, membuat dunia kembali damai setelah kiamat empat tahun yang lalu.

Baca juga: Cerpen: Muda

Posting Komentar

Posting Komentar