57GSGOUiym0RjqT60gh80ahb2hanHpOxHlTDFWHw
Bookmark

Cerpen: Setelah Hidup

30 tahun berlalu sejak saat pertama kali aku menunggu di tempat ini. Mencoba mencari bantuan dari orang-orang yang melewati jalan ini. Aku mencoba meminta bantuan dengan cara memanggil mereka tetapi kebanyakan dari mereka tidak menghiraukanku. Mereka tidak peduli, menganggap suaraku seperti angin lalu, bahkan ada beberapa di antara mereka yang langsung kabur, pergi tanpa melihat sedikit pun. Apa salahku? Apakah karena perbuatanku dulu?

Dulu aku bekerja sebagai kuli barang. Bongkar muat barang dari truk-truk di area sekitar. Menjadi juru parkir di sebuah minimarket, menjadi preman pasar dan hingga aku pernah ikut merampok sebuah gudang. Aku tahu pekerjaanku serabutan. Tidak sepenuhnya baik serta bermanfaat, tetapi di sini aku berusaha, berjuang bertahan hidup untuk sesuap nasi dari hari ke hari. Bekerja apa pun juga yang aku bisa tanpa pilih-pilih. Menurutku, aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa. Dari segala jenis pekerjaan itu, aku juga membantu orang-orang di sekitar, secara sukarela membantu tanpa meminta imbalan apa pun. Mencoba berbuat baik juga seperti orang lain.

Namun, sepertinya nasibku berkata lain. Umurku tidak sepanjang jalan yang pernah kulewati untuk tiba di tempat ini. Waktu itu, aku sedang bekerja, membongkar muatan berupa galon-galon air. Truk galon itu parkir di pinggir jalan, berseberangan dengan toko yang memesan galon tersebut. Aku harus bolak balik menyeberangi jalan untuk mengangkat galon dari truk itu.

Pada kali keempat aku mengangkat galon, dari arah kananku ada sebuah sepeda motor yang sedang mengebut. Insting saja karena ingin menghindar dari jalur motor itu, aku langsung berlari kecil ke depan tanpa melihat. Perhatianku saat itu berpusat pada arah motor tersebut. Nahasnya, ketika aku menoleh ke depan, sudah ada sebuah truk yang sedang bergerak dari arah berlawanan. Aku tidak bisa menghindar, tubuhku terhempas di aspal karena aku sempat mencoba berbelok dan membatalkan langkahku. Namun percuma, sudah terlambat. Ban hitam truk itu melintas di depan mataku dan tiba-tiba saja gelap. Kosong. Seperti itu, gelap, tidak ada apa-apa, tidak terdengar apa-apa, tidak merasakan apa-apa, bahkan sakit sedikit pun tidak ada. Aneh sekali.

Kemudian, hal berikutnya yang aku sadari adalah aku melihat diriku sendiri. Tubuhku berlumuran darah dari kepala dan badan. Aspal di sekitar tubuhku berubah warna menjadi merah kehitaman. Truk yang menabrakku terguling karena mencoba menghindar. Sopir truknya sendiri selamat dengan kondisi luka-luka karena terlempar keluar dari kaca depan mobil itu. Untung saja lukanya tidak parah. Berbeda sekali dengannya, tubuhku tergeletak di aspal. Kepala dan badanku remuk terlindas truk itu. Terbaring kaku tanpa tanda kehidupan. Melihat diriku sendiri tergeletak di aspal sementara aku merasa sadar dan baik-baik saja itu sangat aneh rasanya, seperti melihat kembaranku.

Warga sekitar mulai ramai mengerumuni lokasi, tubuhku ditutupi dengan kardus cokelat. Aku sempat merasa kesal juga atas perlakuan warga terhadap tubuhku, tetapi apa pun yang kulakukan percuma saja. Berteriak tapi tidak ada yang mendengar, mencoba melempari dengan batu juga tidak berhasil dan aku sama sekali tidak terlihat di mata mereka. Merasa tidak berdaya, hanya bisa melihat mereka tanpa bisa melakukan apa pun. Aku pun sadar kalau aku sudah menjadi roh yang bergentayangan. Alasannya mungkin karena aku masih belum ikhlas atas kematianku.

Tiba-tiba terdengar suara sirene mobil. Ternyata ada warga yang telah menelepon polisi dan rumah sakit. Mobil polisi dan ambulans pun datang, tubuhku dipindahkan ke mobil ambulans dibantu beberapa warga, sementara polisi sendiri meminta keterangan kepada warga yang menyaksikan kejadian. Disimpulkan kalau ini adalah murni kecelakaan. Sopir truk yang menabrakku dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa lebih lanjut. 

Baca juga: Cerpen: Melewati Waktu

Seminggu berlalu, jasadku yang berada di kamar jenazah rumah sakit belum ada yang mengambil untuk dikebumikan. Memang di sana aku tinggal sendiri, tidak serumah bersama keluarga atau kerabat. Namun, di sana ada sepupuku. Orang yang harusnya mengenalku karena kami tinggal di daerah yang sama. Tapi kenapa sampai sekarang dia tidak datang juga. Padahal pada saat kejadian kecelakaan seminggu yang lalu, dia ada di lokasi kejadian. Seburuk itukah pandangannya padaku sehingga aku tidak diakui olehnya. Aku yang sekarang menjadi roh gentayangan merasa sedih, kecewa, marah dan merasa dikhianati, apakah itu wajar? Apakah memang seperti ini kehidupan setelah kematian?

Dikarenakan setelah seminggu tidak ada yang mengakui jasadku, pihak rumah sakit memutuskan untuk menguburkan saja jasadku. Mereka menguburkanku di sebuah lahan pemakaman yang biasanya digunakan untuk memakamkan jenazah yang tidak dikenali identitasnya. Pemakamanku sederhana, hanya dilakukan oleh beberapa orang yang terdiri dari petugas rumah sakit, polisi, dan pak ustaz di daerah setempat. Ya, hanya mereka. Tanpa dihadiri oleh keluarga, kerabat, teman atau orang yang kukenal.

Setelah itu, rohku tiba-tiba saja berpindah tanpa kukehendaki. Secara ajaib rohku pindah ke lokasi di mana aku mengalami kecelakaan, hanya seperti kedipan mata dan wuss, aku berada di sana hingga sekarang ini. Aku tidak bisa pindah dari tempat ini, sudah kucoba berkali-kali. Aku ingin pergi, kembali ke ayah dan ibuku. Melihat wajah mereka, memeluk mereka, dan makan bersama seperti dulu selayaknya keluarga. Aku juga ingin meminta maaf kepada mereka, meminta maaf atas kesalahan yang telah kuperbuat selama ini serta karena telah membuat mereka kecewa. Tetapi tidak bisa, bergerak 4 meter dari sini dan wuss, aku kembali ke tempat semula. Terikat di sini selamanya.

Waktu berlalu. Setelah sekian lama, rohku masih saja di sini. Tidak bisa pergi. Apakah ini hukuman yang diberikan Tuhan padaku karena segala kesalahan yang pernah aku perbuat? Entahlah, aku pun tidak tahu. Mungkin memang seperti ini cara kerja kehidupan. Mati dan menjadi roh gentayangan.

Namun, suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita. Tidak bertemu sebenarnya, melainkan dia melewati jalan itu dan melihatku. Menatap ke arahku. Aku awalnya bingung, selama ini tidak ada yang bisa melihatku. Tidak bisa mendengarku. Sungguh aneh, wanita itu bahkan bisa mendengar teriakan minta tolongku dan menoleh ke arahku setelah itu. Kemudian tiba-tiba terdengar suaranya di benakku.

Kamu tunggu di sana sebentar ya, aku akan berkomunikasi denganmu.

Wanita itu memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah makan pinggir jalan. Dia turun dari mobil berwarna hitamnya. Berjalan menuju ke arahku. Kami pun bertemu, dia tersenyum. Aku pun berkata minta tolong waktu itu.

"Tolong, kalau kamu benar-benar bisa melihatku dan mendengarku. Tolong, maukah kamu mendengarkan ceritaku?

"Iya, aku bisa mendengar dan melihatmu. Kamu bisa bercerita kepadaku. Dengan senang hati akan kudengarkan," jawab wanita itu. Dia berpakaian serba hitam waktu itu, ada semacam sablon bunga mawar di pakaiannya. "Namaku Sara," sapa Sara yang kemudian bertanya. "Namamu siapa?"

Namaku? Siapa ya namaku? Setelah sekian lama di sini, berteriak minta tolong ke orang-orang. Berpikir untuk pergi menemui ayah dan ibuku. Aku sudah tidak mengingat namaku.

"Tidak ingat," kataku.

"Ya sudah," balas Sara. "Kamu berceritalah melaluiku, kepadaku. Nanti juga kamu akan mengingat kembali siapa namamu."

Aku pun bercerita kepadanya. Kisah hidupku seperti yang kuceritakan ke kalian di awal. Tiba-tiba Sara berkata.

"Jadi, seperti itu kisahmu, Surya."

Surya? Dan seketika setelah mendengar kata itu. Aku teringat kembali namaku. Surya. Surya Wijaya, itu namaku. Nama pemberian orang tuaku.

"Surya, ada yang mau diceritakan lagi atau ada yang mau disampaikan?" tanya Sara.

"Aku‒aku rindu ayah dan ibuku. Ingin bertemu mereka lagi," kataku.

"Oh, iya. Kamu rindu dengan orang tuamu, ayah dan ibu. Apa yang ingin kamu sampaikan ke mereka," balas Sara.

"Ayah, Ibu, maafkan Surya. Maaf karena perbuatan surya yang tidak baik dan mengecewakan ayah dan ibu. Maaf karena Surya pergi meninggalkan ayah dan ibu."

"Ada lagi? Surya ada yang mau diceritakan lagi?" tanya Sara kemudian.

"Untuk kalian yang di luar sana. Jaga orang tua kalian. Dengarkan nasehat mereka. Jangan sepertiku. Aku harap kalian yang masih hidup terus berbuat baik, lebih baik dari aku. Terima kasih juga untuk, Sara. Berkat Sara, harapan terakhirku bisa terwujud, aku bisa bercerita ke orang-orang tentang kisahku melalui Sara dan aku bisa meminta maaf ke mereka jika aku dulu berbuat salah," ucapku.

"Iya, terima kasih Surya sudah mau bercerita. Sara, teman-teman, dan kami semua mendengar cerita Surya. Terima kasih ya. Kami akan berdoa untuk Surya, semoga Surya bisa lebih tenang, agar Surya bisa pergi, tidak terikat di sini lagi."

Tiba-tiba muncul cahaya terang di depanku. Aku tertarik ke arah itu.

Baca juga: Cerpen: Dering yang Ditunggu

Posting Komentar

Posting Komentar